
Hubungan erat antara mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) terus menjadi sorotan di panggung internasional, ditandai dengan interaksi yang mesra dan kesepakatan-kesepakatan penting, bahkan di tengah kontroversi. Kunjungan luar negeri pertama Trump sebagai presiden pada tahun 2017 adalah ke Arab Saudi, menandakan awal dari hubungan yang kuat.
Selama masa kepresidenannya, Trump secara konsisten menunjukkan dukungan kuat terhadap Arab Saudi dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, yang ia sebut sebagai "teman" dan "pemimpin". Hubungan ini dipererat oleh menantu dan penasihat senior Trump, Jared Kushner, pada masa jabatan pertama Trump.
Salah satu aspek kunci dari hubungan ini adalah kesepakatan senjata besar-besaran. Pada tahun 2017, Amerika Serikat dan Arab Saudi menandatangani surat niat untuk pembelian senjata senilai $110 miliar segera, dan total $350 miliar selama 10 tahun. Pembelian ini mencakup tank, kapal tempur, sistem pertahanan rudal, serta teknologi radar, komunikasi, dan keamanan siber. Pada Mei 2019, pemerintahan Trump juga menggunakan deklarasi darurat untuk mempercepat penjualan senjata senilai $8.1 miliar kepada Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yordania tanpa persetujuan Kongres. Baru-baru ini, pada Mei 2025, Trump dilaporkan menandatangani kesepakatan senjata senilai hampir $142 miliar dengan Arab Saudi, yang digambarkan sebagai yang terbesar dalam sejarah antara kedua sekutu. Kesepakatan ini seringkali dibingkai sebagai langkah untuk melawan pengaruh Iran di kawasan dan menciptakan lapangan kerja di Amerika.
Hubungan ini menghadapi ujian berat setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada tahun 2018 di konsulat Saudi di Istanbul. Meskipun badan intelijen AS menyimpulkan bahwa Mohammed bin Salman menyetujui pembunuhan tersebut, Trump secara konsisten membela Putra Mahkota, menyatakan bahwa MBS "tidak tahu apa-apa tentang itu" dan menganggap insiden tersebut sebagai "hal-hal yang terjadi". Trump juga melindungi MBS dari tekanan Kongres dan sanksi yang diusulkan.
Pemerintahan Trump juga memperluas dukungan AS untuk koalisi pimpinan Saudi dalam perang di Yaman, meskipun ada kekhawatiran serius tentang korban sipil dan krisis kemanusiaan. Trump memveto upaya Kongres pada tahun 2019 untuk mengakhiri keterlibatan AS dalam konflik Yaman.
Dalam kunjungan terbarunya ke Gedung Putih pada 18 November 2025, Putra Mahkota Mohammed bin Salman disambut dengan sambutan meriah. Dalam pertemuan tersebut, Trump kembali menegaskan dukungan kuatnya dan memuji MBS, sekali lagi menepis pertanyaan mengenai pembunuhan Khashoggi. Kunjungan ini juga mencakup janji investasi Saudi yang besar di AS, dari $600 miliar yang diumumkan sebelumnya menjadi "hampir $1 triliun". Trump juga mengkonfirmasi niatnya untuk menjual jet tempur siluman F-35 "terbaik" kepada Riyadh, mengabaikan keberatan dari Israel dan kekhawatiran komunitas intelijen AS. Sebuah Perjanjian Pertahanan Strategis (Strategic Defence Agreement/SDA) yang baru juga ditandatangani, yang diharapkan dapat mempercepat penjualan senjata dan memperdalam kerja sama militer.
Motivasi Trump di balik hubungan yang akrab ini mencakup keuntungan ekonomi melalui investasi dan kesepakatan senjata, kebijakan bersama untuk melawan Iran, keinginan untuk menstabilkan harga minyak, dan ambisi untuk mencapai Hadiah Nobel Perdamaian dengan menormalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel. Trump telah berulang kali menyatakan bahwa Arab Saudi adalah mitra penting dalam persaingan AS dengan Tiongkok dan pemain kunci dalam menstabilkan harga minyak.