:strip_icc()/kly-media-production/medias/5418060/original/072108900_1763591177-1001209946.jpg)
Empat petinggi Negara Federal Republik Rakyat Papua Barat (NFRPB) masing-masing Maksi Sangkek, Abraham Goram Gaman, Piter Robaha, dan Nikson May, telah dijatuhi vonis pidana tujuh bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan. Putusan tersebut dibacakan dalam persidangan pada Rabu, 19 November 2025.
Majelis hakim menyatakan keempat terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana makar dengan maksud memisahkan sebagian wilayah Papua Barat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perbuatan mereka dinilai memenuhi seluruh unsur dalam Pasal 106 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) sebagaimana dakwaan kedua penuntut umum.
Ketua Majelis Hakim Herbert Harefa, yang memimpin sidang untuk terdakwa Abraham Goram Gaman dan Piter Robaha, serta Ketua Majelis Hakim Henry Dunant Manuhua, yang memimpin sidang untuk Nikson May dan Maksi Sangkek, membacakan amar putusan secara terpisah. Vonis tujuh bulan penjara ini lebih ringan satu bulan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut masing-masing terdakwa dengan pidana delapan bulan penjara.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyampaikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan adalah perbuatan para terdakwa dianggap mengganggu kedaulatan NKRI. Sementara itu, hal-hal yang meringankan antara lain para terdakwa bersikap kooperatif selama persidangan, menunjukkan penyesalan, memiliki tanggungan keluarga, dan belum pernah dipidana. Masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani para terdakwa sejak 28 April 2025 akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Penasihat hukum para terdakwa, Yan Christian Warinussy, menyatakan menghormati putusan majelis hakim meskipun pihaknya tidak sependapat dan sejak awal meminta agar kliennya dibebaskan. Ia berpendapat bahwa fakta persidangan tidak menunjukkan bukti seperti yang dimaksud JPU dalam surat tuntutan. Namun, baik para terdakwa maupun JPU dari Kejaksaan Negeri Sorong dilaporkan menerima putusan tersebut, sehingga keputusan ini telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Kasus ini berawal dari aktivitas keempat terdakwa sebagai petinggi NFRPB di Sorong, Papua Barat Daya, yang dilaporkan berupaya memisahkan wilayah tersebut dari Indonesia. Aksi dugaan makar tersebut termasuk membuat dokumentasi video dan mengunggahnya di media sosial yang menunjukkan niat politik untuk memisahkan Papua Barat dari NKRI dan mengajak pemerintah pusat untuk perundingan damai atas nama entitas negara baru. Penahanan dan pemindahan keempat terdakwa ke Makassar untuk disidangkan sempat memicu kericuhan dan aksi blokade jalan oleh simpatisan di Kota Sorong pada Agustus 2025, yang bahkan merusak kantor Gubernur Papua Barat Daya dan Wali Kota Sorong.