
Ancaman invasi dari Tiongkok telah mendorong Taiwan untuk mempercepat dan memperluas persiapan pertahanan militernya, seraya meningkatkan anggaran dan menggelar latihan berskala besar. Situasi di Selat Taiwan semakin memanas, dengan Beijing secara konsisten menegaskan klaimnya atas pulau tersebut dan tidak mengesampingkan penggunaan kekuatan untuk reunifikasi.
Sebagai respons, Taiwan telah menginisiasi sejumlah langkah signifikan. Latihan militer tahunan "Han Kuang" pada tahun 2025 telah diperluas durasinya menjadi 10 hari, dua kali lipat dari biasanya, melibatkan hingga 22.000 personel cadangan yang menjalani pelatihan penyegaran dalam penggunaan senapan mesin, pertempuran jarak dekat, dan latihan mortir. Uniknya, untuk pertama kalinya, militer Taiwan juga menggelar latihan "anti-invasi" di jaringan kereta bawah tanah Metro Taipei sebagai bagian dari skenario perang kota. Latihan-latihan ini juga mencakup pertahanan pantai dari pendaratan pasukan Tiongkok, perbaikan landasan pacu yang cepat untuk menjaga pesawat tetap beroperasi, serta pemasangan ranjau laut antikapal di Kaohsiung.
Anggaran pertahanan Taiwan juga mengalami peningkatan signifikan. Total anggaran pertahanan diproyeksikan mencapai rekor baru sebesar T$ 647 miliar (US$ 19,74 miliar) pada tahun 2025. Lebih lanjut, pemerintah Taiwan mengusulkan peningkatan anggaran militer sebesar hampir 23% untuk tahun 2026, mencapai NT$949,5 miliar (sekitar Rp507 triliun atau sekitar US$32 miliar), dengan target 3,32% dari produk domestik bruto (PDB) untuk sektor pertahanan. Presiden Taiwan William Lai Ching-te secara langsung telah mengonfirmasi peningkatan anggaran ini sebagai upaya memperkuat pertahanan diri.
Dalam upaya modernisasi, Taiwan telah mengantongi persetujuan kontrak senilai US$698,94 juta dari Amerika Serikat untuk sistem pertahanan udara National Advanced Surface-to-Air Missile System (NASAMS). Ini adalah bagian dari rencana belanja lebih besar senilai sekitar US$1,14 miliar untuk pembelian NASAMS dan perlengkapannya dari tahun 2024 hingga 2030. Amerika Serikat, yang selama ini mempertahankan "ambiguitas strategis," telah memberikan berbagai bantuan militer defensif kepada Taiwan, termasuk paket bantuan senilai US$345 juta pada Juli 2023, US$567 juta pada April 2024, dan transfer bantuan militer hingga US$80 juta di bawah program FMF. Namun, laporan pada September 2025 juga menyebutkan adanya penolakan sementara oleh mantan Presiden AS Donald Trump terhadap paket bantuan militer US$400 juta untuk Taiwan.
Di sisi lain, Tiongkok terus meningkatkan tekanan militernya terhadap Taiwan. Kementerian Pertahanan Taiwan dalam laporan terbarunya menyebut Beijing tidak hanya mengasah kemampuan untuk melancarkan serangan mendadak, tetapi juga berupaya merusak kepercayaan publik Taiwan melalui taktik perang hibrida dan siber. Tiongkok juga menerapkan taktik "zona abu-abu" yang melibatkan operasi non-tempur untuk memberikan tekanan berkelanjutan, termasuk patroli intensif penjaga pantai, perusakan kabel bawah laut, dan penerbangan balon di atas wilayah Taiwan. Militer Taiwan pada Desember 2024 berada dalam siaga tinggi setelah mendeteksi keberadaan kapal perang dan kapal penjaga pantai Tiongkok di sekitar perairan Taiwan.
Meskipun mantan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen pada November 2023 pernah menyatakan bahwa invasi berskala besar oleh Tiongkok mungkin belum akan terjadi karena tantangan internal yang dihadapi Beijing, khususnya masalah ekonomi dan keuangan, pemerintahan Presiden Lai Ching-te kini memandang serius ancaman tersebut. Taiwan juga berupaya membangun kesiapsiagaan warga sipil melalui latihan pertahanan sipil dan militer wajib, termasuk simulasi serangan udara dan penanganan korban. Strategi pertahanan Taiwan, yang dikenal sebagai "strategi landak," menekankan kemampuan pertahanan diri tanpa sepenuhnya bergantung pada bantuan asing.
Situasi ini tidak hanya menjadi perhatian regional tetapi juga global. Pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi pada November 2025 bahwa serangan militer Tiongkok terhadap Taiwan bisa menjadi "ancaman eksistensial" bagi Jepang, yang berpotensi memicu hak bela diri kolektif, telah memicu kemarahan keras dari Tiongkok. Beijing menuntut Jepang menarik kembali pernyataan tersebut, menudingnya sebagai provokasi berbahaya yang merusak fondasi hubungan kedua negara. Jepang telah mengirim utusan untuk meredakan ketegangan, namun Tiongkok menegaskan tidak akan ada penyelesaian kecuali pernyataan tersebut dicabut. Presiden Taiwan Lai Ching-te sendiri meminta komunitas internasional untuk tetap waspada dan mendesak Tiongkok untuk menahan diri. Semua dinamika ini menggambarkan ketegangan yang terus membayangi Selat Taiwan, menempatkan pulau itu dalam ancaman perang yang nyata.