Notification

×

Iklan

Iklan

Tagar Terpopuler

Jeritan Minta Ampun dan Selang Penyiksa: Kesaksian Mencekam di Sidang Prada Lucky

2025-11-21 | 04:48 WIB | 0 Dibaca Last Updated 2025-11-20T21:48:36Z
Ruang Iklan

Jeritan Minta Ampun dan Selang Penyiksa: Kesaksian Mencekam di Sidang Prada Lucky

Kupang – Pengadilan Militer III-15 Kupang kembali menggelar sidang lanjutan kasus kematian Prajurit Dua (Prada) Lucky Chepril Saputra Namo, seorang prajurit berusia 23 tahun yang tewas diduga akibat penganiayaan oleh para seniornya. Dalam persidangan yang berlangsung pada Rabu (12/11/2025), Komandan Kompi (Danki) C Yonif TP 834/Wakanga Mere Nagekeo, Lettu Inf Rahmat, memberikan kesaksian yang mengejutkan.

Lettu Inf Rahmat mengaku mendengar teriakan "minta ampun" dari ruang staf intel di markas Batalyon Teritorial Pembangunan 834/Waka Nga Mere, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat ia dan Letda Ikrar mendekat dan masuk ke ruangan, mereka melihat almarhum Prada Lucky sedang dicambuk-cambuk menggunakan selang oleh Pratu Alan di bagian punggungnya. Mendengar teriakan dan melihat langsung aksi kekerasan tersebut, Rahmat dan rekannya segera memerintahkan penganiayaan itu dihentikan dan mengeluarkan para korban dari ruangan.

Kasus tragis yang menimpa Prada Lucky ini berawal dari dugaan penganiayaan yang berlangsung selama berhari-hari, dari 27 Juli hingga 30 Juli 2025, melibatkan setidaknya 17 hingga 22 prajurit senior di Batalyon Teritorial Pembangunan 834/Waka Nga Mere (Yon TP 834/WM). Penganiayaan disebut-sebut bermula dari tuduhan tak berdasar mengenai orientasi seksual Prada Lucky dan rekannya, Prada Richard, setelah ditemukannya pesan di telepon genggam Lucky yang mengarah pada dugaan penyimpangan seksual.

Metode penyiksaan yang terungkap dalam persidangan sangat keji, meliputi cambukan menggunakan kabel, selang, kopel taktikal, pukulan tangan dan sandal jepit, hingga penyiraman air comberan ke wajah korban sehingga menyulitkan bernapas. Beberapa saksi juga menyebutkan bahwa Prada Lucky dan Prada Richard dipukuli dengan gantungan baju besi, dipaksa mengolesi minyak, cabai, dan garam ke kemaluan serta lubang anus mereka, bahkan dibakar dengan puntung rokok. Terungkap pula bahwa beberapa terdakwa, seperti Pratu Ahmad Ahda, Pratu Emeliano De Araujo, dan Pratu Petrus Nong Brian Semi, dalam kondisi mabuk saat mencambuk dan menendang Lucky secara bergantian.

Prada Lucky Chepril Saputra Namo meninggal dunia pada 6 Agustus 2025, setelah menjalani perawatan intensif di RSUD Aeramo, Nagekeo, NTT. Orang tua korban telah menyuarakan kekecewaan atas dakwaan yang dinilai ringan oleh Oditur Militer, dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun penjara bagi para terdakwa, dan menolak santunan yang ditawarkan. Mereka mendesak agar para pelaku dihukum setimpal dan dipecat dari satuan TNI.

Komandan Batalyon (Danyon) Yonif TP 834/WM, Letkol Inf Justik Handinata, dalam kesaksiannya pada 17 November 2025, mengaku baru mengetahui adanya tindakan penganiayaan setelah Prada Lucky dirawat di ruang ICU RSUD Aeramo pada 5 Agustus 2025, sehari sebelum Lucky meninggal dunia.

Kasus kematian Prada Lucky ini telah memicu desakan dari berbagai pihak, termasuk anggota DPR dan Amnesty International, untuk reformasi sistem peradilan militer di Indonesia. Mereka menyoroti budaya kekerasan dan senioritas yang mengakar di tubuh TNI, serta pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam penanganan kasus-kasus serupa agar keadilan dapat ditegakkan.